.......Ada ahli bid’ah beralasan tidak menemukan suatu hukum agama sehingga ia berani membuat suatu bid’ah padahal hukum yang dia cari itu terlewat dari pengamatannya , dia merasa tak bersalah membuat bid’ah . Bahkan ada yang bertanya kalau Alqur’an dikatakan menjelaskan segala hal “Apakah di dalam Alqur’an menjelaskan cara berwudhu, banyaknya reka’at dalam sholat ?”, maka jawabnya adalah ya harus mengikuti Al Hadits, disitu akan dijumpai yang mereka tanyakan karena Alqur’an itu suatu teori dan prakteknya terdapat dalam Al hadits. ........
Apabila kita menghayati Alqur’an surat Al Maidah ayat 3 yang berbunyi : ,,Pada hari ini (tanggal 9 Assuro, di Arafah) Aku (Allah) telah menyempurnakan agama kamu sekalian dan Aku (Allah) telah mencukupkan ni’matku dan Aku (Allah) ridho Islam sebagai agama”, maka kita rasanya sangat bersyukur tidak perlu ragu dan khawatir akan kesempurnaan dan kelengkapan hukum agama kita yaitu Islam.
Rasulullah telah menjelaskan segala hal dalam agama ini untuk kebutuhan umatnya, Abu Dzar berkata dalam salah satu hadits :,,Tidak ada yang di abaikan oleh Rasululloh SAW. sampai-sampai burung yang mengepakkan sayapnya di langit, melainkan beliau telah mengajarkan kepada Kami tentang ilmunya :
~ QS.Al An’am 38 : ,,Dan tiada mahluk-mahluk dibumi dan tidak ada burung-burung yang berterbangan dengan dua sayapnya melainkan umat semisal kamu sekalian . Tiada Aku lewatkan sesuatupun didalam kitab (Lauhil mahfudz) , kemudian kepada Tuhan merekalah mereka di kumpulkan“.
~ QS.Anahl 89 : ,,Dan kami turunkan kepadamu (Muhammad) kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan bagi tiap-tiap sesuatu”.
Ada orang musrik bertanya kepada Salman al Farisi RA. “Apakah Nabi kalian mengajarkan kepada kalian sampai tata cara membuang hajat ?.” Salman, menjawab :,,Ya!, Beliau telah melarang kami apabila kami menghadap kiblat saat membuang hajat, dan membersihkan kotoran dengan kurang dari tiga batu, atau dengan tangan kanan, atau dengan kotoran kering atau dengan tulang “. Bararti inilah Nabi yang Haq, tidak meninggalkan hal-hal yang sepertinya sepele. Lalu kenapa orang tidak mengambil sunah Nabi (Alhadits) di dalam praktek ubudiyahnya.
Praktek ubudiyah baik itu yang Ushul (pokok) seperti Tauhid, maupun furu’ (cabang-cabang agama Islam) seperti masalah pergaulan, salam, pakaian harus selalu berdasar Kitabullah dan Sunah Nabi, karena akan berhubungan
langsung dengan sah dan tidak bahkan ancaman.
Sholat adalah masalah pokok tapi dalam prakteknya didukung masalah furu’, misal orang melaksanakan Sholat dengan pakaian yang dipanjangkan sampai melebihi mata kaki maka sholatnya tidak sah bahkan diancam siksa, sesuai sabda Rasululloh ,
~ ,,Laa yuqbalullohu sholaata rojulin musbilin” artinya ,,Tidaklah Allah menerima Sholatnya seseorang yang memanjangkan pakaiannya (sampai dibawah mata kaki).
Ada ahli bid’ah beralasan tidak menemukan suatu hukum agama sehingga ia berani membuat suatu bid’ah padahal hukum yang dia cari itu terlewat dari pengamatannya , dia merasa tak bersalah membuat bid’ah . Bahkan ada yang bertanya kalau Alqur’an dikatakan menjelaskan segala hal “Apakah di dalam Alqur’an menjelaskan cara berwudhu, banyaknya reka’at dalam sholat ?”, maka jawabnya adalah ya harus mengikuti Al Hadits, disitu akan dijumpai yang mereka tanyakan karena Alqur’an itu suatu teori dan prakteknya terdapat dalam Al hadits. kita mengikuti sabda Rasululloh itu sama dengan taat Allah, lihat :
~ QS.Annisa 80 : ,,Barang siapa yang taat kepada Rasul maka sungguh-sungguh ia taat kepada Allah”.
~ QS.Alhasr 7 : ,,Dan apa-apa yang diberikan rasul kepadamu maka ambillah dan apa-apa yang dilarang oleh Rasul maka berhentilah”.
~ QS.Annisa 113 : ,,Dan Allah telah menurunkan Al Kitab (Qur’an) atas engkau (Muhammad) dan Al Hikmah (Hadits)”.
Dengan demikian Al qur’an dan Hadits harus selalu berjalan bersamaan. Sabda Rasululloh :
~ ,,Aku telah diberi kitab (Al qur’an) dan semisal kitab itu (Hadits) menyertainya”.
~ ,,Aku telah diberi kitab (Al qur’an) dan dua kali semisal kitab itu (Hadits) menyertainya”.
Jadi jumlah isi hadits dengan sendirinya lebih banyak karena merupakan praktek pengamalan dari Alqur’an.
Bid’ah adalah membuat pembaharuan dalam hukum agama, hal ini hukumnya dilarang langsung oleh Allah Dan Rasul :
~ QS. Alhasr 7 : ,,Dan apa-apa yang diberikan rasul kepadamu maka ambillah dan apa-apa yang dilarang oleh Rasul maka berhentilah”.
~ QS.Alhujurat 1 :,,Wahai orang -orang yang beriman janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
~ HR.Buhori 8/156 : ,,Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada atas amalan itu perkara ku maka amalan itu di tolak”.
~ HR.Abu Daud K.Sunnah 506 :,,Barang siapa yang memperbaharui didalam perkaraku ini (hukum agama) yang didalamnya tidak ada Qur’an dan Hadits maka pembaharuan itu ditolak”.
~ HR.--- :,,Takutlah kamu sekalian akan pembaharuan perkara (Hukum agama) karena sesungguhnya tiap-tiap pembaharuan itu adalah bid’ah dan tiap-tiap bid’ah itu sesat, dan tiap-tiap sesat itu ke neraka”.
Ada orang berbid’ah dalam hal mengagungkan Dzat Allah dengan cara melebih-lebihkan hingga keluar dari batasan hukum agama, ini disebut orang yang bid’ah berhubungan terhadap Dzat Allah, sifat Allah, asma Allah. Orang ini akan mengatakan sayalah yang paling mengagungkan Allah, sayalah orang yang paling ahli dalam mempraktekkan firman Allah surat Albaqoroh 22 : “Maka janganlah kamu sekalian menjadikan pada Allah persamaan-persamaan”, adapun orang yang tidak sama dengan saya adalah orang yang kurang mengagungkan Allah, bahkan orang yang musrik ,,mumatsil musabbih”, padahal yang telah ia lakukan tidak pernah dicontohkan oleh Rosulullah dan Ulama-ulama salaf.
Ada lagi orang yang bid’ah sehubungan dengan pribadi Rasululloh, mereka melebih-lebihkan dalam memuji Rasululloh, berlebihan dalam menghormat Rasulullah hingga keluar dari ketentuan dari Allah tentang bagaimana cara menghormat Rasululloh seperti dalam Alqur’an. Bahkan Nabi sendiri telah melarang manusia yang melebih-lebihkan dalam menghormat beliau. Tapi justru orang yang ahli bid’ah tadi mengatakan sayalah orang yang paling bisa menghormat Rasululloh , adapun yang tidak sama dengan cara saya ini maka dia tidak menghormat Rasululloh.
Padahal orang-orang seperti tersebut diatas adalah orang yang “lancang” telah mendahului hukum agama yang sah. lihat :
~ QS.Alhujurat 1 :,,Wahai orang -orang yang beriman janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Sabda Rasulullah :,,Takutlah kamu sekalian akan pembaharuan perkara (Hukum agama) karena sesungguhnya tiap-tiap pembaharuan itu adalah bid’ah dan tiap-tiap bid’ah itu sesat, dan tiap-tiap sesat itu ke neraka”.
Lalu pantaskah mereka-mereka ini dikatakan orang yang mengagungkan Allah dan Rasul ?. Lebih pantas manakah dengan orang yang konsekwen dalam melaksanakan dalil-dalil agama dalam hukum-hukum Alqur’an dan Hadits ?.
Kalimat yang di ucapkan Nabi : “Kullu bid’atin” yang artinya tiap-tiap atau semua, ini berarti bersifat umum dan menyeluruh, dan mereka mengetahui hal itu. Ini adalah bukan kaliamat yang diucapkan oleh orang yang baru belajar ngomong tapi kalimat ini di ucapakan oleh orang yang paling fasih ucapannya, paling mengerti dan memahami arti ucapannya sendiri, yaitu Rasululloh, sebagaimana dijelaskan dalam :
~ H.R.Tirmidzi : Sahabat berkata, “Nabi itu kalau berkata , tiap-tiap katanya sangat jelas , seolah-olah dipisah dari kata yang lain”. Jadi tidak seperti benang ruwet.
Berarti tidak ada arti konotasi dari kalimat “Kullu bid’atin dholalah”melainkan ya arti yang dikandung oleh kalimat itu sendiri.
Menurut orang-orang yang ahli bahasa, kalau ada kalimat yang memenuhi 3 syarat maka kalimat itu tidak memiliki arti konotasi, berarti arti denotasilah yang ada dalam kalimat itu, yaitu , Suatu kalimat bila memenuhi :
1. Di ucapkan dengan tulus.
2. Di ucapkan dengan fasih.
3. Di ucapkan dengan pengertian.
Maka kalimat yang keluar tidak memiliki arti konotasi. Nabi sudah barang tentu memenuhi 3 syarat tersebut.
Apabila ada yang mengatakan tidak semua bid’ah itu dholalah tapi ada yang hasanah maka pendapat ini sama sekali tidak benar. Tapi bila tetap ada yang “menyebut” bid’ah hasanah dengan berdasarkan bukti-bukti dari kholifah, hal ini harus kita luruskan dulu atau kita harus menyamakan persepsi dulu , yaitu :
1. Hal itu tidak ternasuk bid’ah tapi dianggap atau dia “namai” bid’ah.
2. Hal itu memang betul-betul bid’ah yang sudah barang tentu “sayyi’ah” tapi dia tidak tahu kalau itu jelek.
Jadi dalil dari Nabi yang menyatakan : “Kullu bid’atin dholalah” adalah senjata Ampuh yang benar-benar Sabda Rasululloh, bukan buatan pabrik atau ucapan sembarang manusia yang berucap sembarangan. Senjata ini tidak bisa dikalahkan oleh hujjah manapun. Secara dalil menang muthlaq karena benar, secara tata bahasa pun menang !.
Untuk lebih jelasnya ikutilah tanya-jawab dibawah ini :
Tanya :
Bagaimana hukumnya perkataan Umar bin Khotob yang memerintahkan pada Ubay bin Kaab dan Tamim ad Dariy agar mengimami orang-orang dibulan Ramadhan melaksanakan sholat tarawih, lalu Umar menggariskan fatwa : ,,Inilah sebaik-baiknya bid’ah ...”
Jawab :
1. Tak seorangpun yang boleh menentang sabda Nabi, walaupun dengan perkataan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali atau dengan perkataan sipa saja selain mereka, karena Allah telah berfirman : QS.An Nur 63 :,,Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih”. ( menurut Imam Ahmad fitnah = syirik, menurut Ibnu Abas , fitnah = siksa, lemparan batu. Ibnu Abas berkata : ,,Hampir saja kamu dilempar batu dari langit. Ku katakan : Rasululloh SAW bersabda, tapi kalian menentangnya dengan ucapan Abu bakar dan Umar).
2. Kita yakin bahwa umar tidak akan menentang Rasululloh dengan mengatakan ini bid’ah yang paling baik. Karena sosok Umar bin Khotob adalah :
• - orang yang sangat menghormati dan taat pada firman Allah
• - orang yang berpijak pada ketentuan Allah
• - orang yang dijuluki ahli berpegang teguh kalamullah. terbukti saat beliau akan menetapkan pembatasan mahar, lalu ada seorang wanita yang men”debat” beliau dengan surat Annisa’ 20 :,,Sedang kamu diberikan harta yang banyak...”, maka beliau tidak jadi membatasi mahar.
• - orang yang telah dijamin oleh Rasululloh kebenarannya dalam berkata.
• - Saat beliau berkata itu , beliau sedang menjadi Kholifah / Amirul mu’minin, jadi sangat ber ”competent” untuk mengeluarkan fatwa.
Kesimpulanya , dari uraian diatas adalah : Kalimat pernyataan bid’ah yang dikatakan Umar saat mengadakan sholat sunah (tarawih) adalah tidak termasuk bid’ah seperti yang disabdakan Rasululloh, dan umar tidak menentang Rasululloh.
Sholat tarawih berjamaah itu Nabi telah mencontohkan yaitu tiga malam Ramadhon berturut-turut, untuk hal ini sudah bisa dikatakan sunah Rasululloh secara ,,fi’liyah”. (Bandingkan dengan masalah puasa pada bulan Assuro (Puasa Suro), Nabi selama hidupnya melaksanakan pada tanggal 10 Assuro, kemudian Nabi berkata “Tahun depan saya akan puasa pada tanggal 9 Assuro” tapi sebelum Nabi sempat melaksanakannya Beliau telah dipanggil Allah SWT. Dan ternyata secara praktek, para sahabat dan ulama salaf ya puasa di kedua tanggal tersebut. Berarti puasa tanggal 9 = Sunah taqririyah, puasa tanggal 10 = Sunah fi’liyah). Adapun sholat sunah malam (qiyamul lail, selain tarawih) dengan berjamaah juga telah dicontohkan oleh Rasululloh, berdasarkan :
~ HR.Bukhori : Abdulloh berkata, ,,Aku bermalam dirumah bibiku Maimunah RA., lalu aku lihat Rasulullah berdiri (Qiyamul Lail) lalu aku berdiri disebelah kiri Nabi, maka Nabi memegang kepalaku dan memindahkan aku di sebelah kanan beliau”.
Adapun hari keempat sholat tarawih Nabi tidak keluar itu , beliau punya alasan yang kuat, yaitu takut apabila Tarawih menjadi wajib bagi umat beliau, ~ HR.Bukhori & Muslim : ,,Inni khosyitu an tafrudlo alaikum fata’jizuu ‘anhaa”, artinya “Aku khawatir apabila tarawih itu diwajibkan pada kamu sekalian , sedangkan kamu merasa lemah melaksanakannya”.Itulah alasan Nabi tidak keluar pada hari keempat, bukan Nabi beralasan karena sholat itu harus dihentikan secara berjama’ah, sama sekali tidak pernah dinyatakan begitu oleh Rasululloh, bahkan Nabi mencontohi.
Jadi sholat tarawih berjama’ah itu adalah sunah Nabi, hanya saja Umar “menjuluki” nya “Ni’matu bid’ah”. hal ini karena setelah Nabi meninggalkan berjamaah pada hari kempat, ada orang yang sholat sendiri-sendiri, ada yang melakukannya berjamaah dengan beberapa orang saja, ada yang berjama’ah dengan banyak orang, maka Umar ,,berijtihad” Tarawih berjamaah.
Adapun Umar saat itu mengerjakan sebanyak duapuluh satu rekaat dan Nabi sebelas rekaat itu sama sekali tidak masalah, karena tarawih itu adalah sholat sunah dan sholat sunah itu Nabi telah bersabda jumlahnya berapa saja, bahkan Nabi pernah bersabda semakin banyak sholat sunah akan semakin baik, akan semakin tinggi derajatnya.
Tanya :
Apakah sekolah , menyusun kitab (membukukan sunah), uang kertas dsb. itu bid’ah ?.
Jawab :
Sekolah , menyusun kitab, uang kertas itu bukan bid’ah, melainkan “sarana” untuk melaksanakan perintah. Sedang-kan sarana itu berbeda-beda menurut tempat dan zaman. Renungkan kaidah dibawah ini : ,,Sarana itu dihukumi menurut tujuannya”, ,,Sarana untuk melaksanakan perintah hukumnya diperintah”, ,,Sarana untuk perbuatan yang tidak diperintah hukumnya tidak diperintah” , ,,Sarana untuk perbuatan yang dilarang (haram) hukumnya dilarang”. berdasarkan :
~.QS.Surat Al An’am 108 : ,,Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka akan memaki Allah secara bermusuh-musuhan dengan tanpa ilmu”, (ayat ini mansuh nasihnya mereka harus diperangi.).
~ Firman Allah :,,Dan jangan memaksa kamu sekalian pada budak perempuanmu untuk menjadi pelacur”. Memiliki budak boleh tapi memiliki budak untuk dipelacur hukumnya haram.
~ HR.Kanzil Umal : ,,Barang siapa yang memiliki pena (alat) tulis maka dia akan dituntut pertanggung jawaban atas pena tersebut”.
Niat juga ikut berperan dalam memper-lakukan sebuah sarana :
~ HR.Abu Daud : ,,Sesungguhya amal itu tergantung niatnya, dan sesung-guhnya bagi tiap-tiap orang tergantung apa yang telah diniatkanya”
Tanya :
Kalau bid’ah tidak ada yang hasanah, Lalu bagaimana penjelasan sabda Nabi : ,,Man sanna fil islaami sunnatan hasanatan falahu ajruha wa ajru man amila bihaa”, yang artinya barang siapa yang memberi contoh sunah dalam islam, contoh sunah yang baik maka baginya pahalanya dan pahalanya orang yang menirunya (tanpa mengurangi pahalanya orang yang meniru). ?
Jawab :
Orang yang bersabda dalil di atas adalah orang yang juga bersabda “bid’ah itu semuanya dholalah” yaitu Rasulullah. Tidak mungkin beliau orang yang ,,ma’ruf” ,terpercaya, dan jujur lalu omongannya sendiri saling bertenta-ngan atau “mencla-mencle”. Anggapan itu mungkin karena orang tersebut kurang jeli memandang hadits atau tidak mampu memahami hadits
Kedua hadits tersebut tidak bertentangan karena artinya saja “Man sanna sunnatan fil Islaami..” adalah Barang siapa yang bersunah didalam Islam...” la bid’ah itu bukan termasuk Islam kok. Dan asbabun nuzulnya hadits itu kan saat ada orang-orang yang datang kepada Nabi dalam keadaan kesulitan ekonomi, maka Nabi menghimbau kepada para sahabat untuk shodaqoh, lalu datang orang Anshor dengan membawa sekontong uang perak yang banyak lalu wajah Nabi berseri-seri dan bersabda hadits tersebut diatas. Berarti “sanna” = melaksanakan / mengerjakan bukan membuat / menimbulkan suatu sunnah.
Demikianlah uraian penjelasan ini semoga bisa membawa kita kepada kebenaran dalam beragama, karena betul-betul kita telah memurnikan ibadah baik tujuannya (Karena Allah) maupun sumbernya (Alqur’an dan Hadits). Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Segala keritik dan saran akan menjadi satu kebaikan dimasa yg akan datang,dan itu sangat kami harapkan.
Blog Buatan, Bolo Dewe